CESTODA
- Pendahuluan Tentang Cacing (Helminth)
Penyakit
yang disebabkan cacing atau biasa disebut dengan helminthiasis merupakan salah
satu penyakit yang banyak terjadi, terutama di daerah tropis. Keberadaan
penyakit ini berkaitan dengan faktor cuaca, tingkat sanitasi lingkungan dan
sosio-ekonomi masyarakat. Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu
untuk hidup dan berkembang biak. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi sayuran
mentah, daging atau ikan yang dimasak setengah matang merupakan salah satu cara
penularan secara langsung. Bila dalam bahan makanan tersebut terdapat kista
atau larva cacing, maka siklus hidup cacing dapat menjadi lengkap, dan terjadilah infeksi dalam tubuh manusia.
Berbeda dengan infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya, cacing dewasa
tidak bertambah banyak di dalam tubuh manusia. Penyebaran penyakit ini pun
dapat terjadi melalui perantaraan serangga seperti nyamuk dan lalat pengisap
darah yang dapat menyebarkan telur cacing dari feses penderita cacingan. Di
samping itu, kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman
dapat meningkatkan penyebaran telur
cacing, karena dapat mengkontaminasi tanah, air rumah tangga dan tanaman pangan
tertentu.
Cacing
yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas dua golongan besar yaitu cacing
bulat (nemathelminthes)dan cacing pipih (platyhelminthes). Golongan
Nemathelminthes terbagi lagi menjadi kelas nematode, sdangkan golongan
platyhelminthes terbagi menjadi kelas trematoda dan cestoda.
Pada
bahasan ini, akan diuraikan mengenai kelas cestoda secara umum dan dua contoh
parasit yang paling banyak menginfeksi manusia yaitu Taenia saginata dan T. solium.
- Cestoda
2.1 pendahuluan
Cestoda
atau cacing pita merupakan cacing pita yang siklus hidupnya ada yang
memerlukan air untuk menetaskan telurnya
(contoh : Diphyllobothrium latum)
sedangkan yang lainnya cukup menggunakan tanah.
Dalam
penularannya kepada manusia, ada yang
memerlukan intermediate host, namun ada juga yang dapat menulari manusia tanpa
perantara (contoh: Hymenolepis nana).
2.2 Morfologi Umum Cestoda
Ukuran cacing dewasa bervariasi dari yang panjangnya hanya 40 mm ( contoh:
Hymenolepis nana) hingga yang
panjangnya 10-12 m (contoh: Taenia
saginata dan Diphyllobothrium latum).
Bnetuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita, biasanya pipih
dorsoventral (dari belakang ke depan). Cacing ini terdiri atas scolex (kepala) yang dilengkapi dengan
alat isap dan kait-kait, berfungsi sebagai alat untuk melekatkan atau
mengaitkan diri pada dinding usus manusia. Di belakang scolex terdapat leher, yang merupakan bagian cacing
yang tidak bersegmen. Di belakang leher terdapat proglotid yang semakin lama semakin banyak, sehingga menyebabkan
cacing menjadi semakin panjang dan bersegmen-segmen. Setiap proglotid atau
segmen dilengkapai dengan alat reproduksi jantan dan betina. Semakin jauh dari
scolex, maka proglotid nya semakin tua, sehingga proglotid yang paling ujung
seolah-olah hanya sebagai kantong telur saja. Proglotid yang paling ujung
tersebut disebut dengan gravida.
Seluruh bagian cacing, mulai dari scollex samapi proglotid gravid disebut
dengan strobila.
2.3 Sistem Reproduksi Cestoda
Cestoda merupakan cacing yang bersifat hermafrodit.
2.4 Sistem Pencernaan Cestoda
Cestoda berbeda dengan nematode dan trematoda, tidak mempunyai usus.
Cestoda tidak mempunyai saluran cerna. Makanan masuk ke dalam tubh cacing
melalui penyerapan oleh permukaan sel cacing.
2.5 Spesies Kelas cestoda
Spesies kelas cestoda yang dapat menimbulkan infeksi pada manusia adalah
sebagai berikut: Diphyllobothrium latum, Hymenolepis
nana, Taenia saginata, T. solium, Echinococcus granulosus dan E.
multilocularis.
2.6 Host
Manusia merupakan host cestoda ini dalam bentuk sebagai berikut:
¾
Cacing dewasa, untuk spesies D. latum, T. saginata, T. solium, H. nana, H. diminuta, dan Dypylidium
caninum.
¾
Larva, untuk spesies Diphyllobothrium sp., T.
solium, H. nana, E. granulosus, dan multiceps.
- Taenia solium
3.1
Distribusi Geografik
Taenia
solium adalah parasit kosmopolit, namun akan sulit ditemukan pada Negara-negra
islami. T. solium merupakan pathogen yang umum terdapat di lingkungan yang
buruk, dimana manusia tinggalnya sangat berdekatan dengan babi- babi dan
memakan daging babi yang kurang matang. Oleh karena itu, penyakit cacingan
karena cacing T. solium ini sangat jarang ditemukan pada lingkungan muslim.
Caing
tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan
babi dan di daerah yang penduduknya banyak menyantap daging babi atau
berhubungan dengan religi tertentu yang memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi daging
babi, seperti di Eropa (Gzech, Slowakia, Kroatia, dan Serbia), Amerika latin,
Cina, India, Amerika Utara, dan juga beberapa daerah di Indonesia ( Irian Jaya,
Bali dan Sumatera Utara).
Hasil
survey lapangan yang diadakan pada tahun 2000 dan 2001, para peneliti menemukan
bahwa menunjukkan 5 (8.6%) dari 58 masyarakat lokal dan 7 (11%) dari 64 anjing local yang hidup kira-kira 1 km dari
ibukota local, wamena, Jayawijaya,
ditemukan cacing pita dewasa dan sistiserkus T. solium. Karena prevalensi cacing ini telah mendunia
dan meningkatnya imigrasi dan jumlah turis asing, T. solium merupakan salah
satu pathogen penting di United stated. Dari 100 juta infeksi cacingan per
tahunnya, 50 juta kasus infeksi tersebut disebabkan oleh T. solium. Infeksi T.
solium jarang memasuki United states kecuali daerah dengan tingkat imigrasi
tinggi dari Mexico, Latin America, Iberian peninsula, Slavic countries, Africa,
India, Southeast Asia, dan China.
3.2
Morfologi
Cacing
dewasa dapat berukuran 3-8m. Struktur tubuh cacing ini terdiri dari skolex,
leher dan proglotid. Cacing dewasa menempel pada dinding usus dengan scolex
nya, sedangkan sistiserkus nya terdapat di jaringan otot atau subkutan. Cacing
ini terdiri dari 800-1000 ruas proglotid. Skolex yang bulat berukuran kira-kira
1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum (tonjolan lemak) yang
mempunyai 2 baris kait, masing-masing sebanyak 25-30 buah.
Bentuk
proglotid gravid nya mempunyai ukuran panjang yang hamper sama dengan lebarnya,
dapat dilihat pada gambar…. Jumlah cabang uterus pada proglotid gravid adalah
7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya bergantian selang seling pada
sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan.
Proglotid
gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 buah telur. Telurnya keluar melalui
robekan celah pada proglotid. Telur dapat dilepaskan bersama proglotid atau
tersendiri melalui lubang uterus.
3.3
Host
Host
definitive cacing ini adalah manusia, sedangkan host intermediate nya adalah
babi, monyet, onta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus dan manusia. Hal
ini terjadi bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus T. solium. Sebagai host intermediate,
babi dapat mengandung cacing ini bila telur cacing yang terdapat pada feses
manusia yang terinfeksi termakan.
Bila
manusia bertindak sebagai intermediate host, maka sistiserkus T. solium berada
di dalam jaringan otot atau jaringan subkutan. Hal ini terjadi bila manusia
makan makanan yang terkontaminasi oleh telur T. solium. Infeksi pada manusia,
umumnya terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing
T. solium. Telur cacing tersebut dapat berasal dari penderita yang mengandung
cacing dewasa ataupun autoinfeksi dari penderita itu sendiri
(feses-tangan-mulut). Hewan lain dan anjing pun dapat mengandung sistiserkus di
dalam dagingnya bila terinfeksi oleh telur T. solium. (Keterangan: definitive
host adalah tempat parasit hidup, tumbuh menjadi dewasa dan berkembangbiak
secara seksual). Intermediat host adalah tempat parasit tumbuh menjadi bentuk
infektif yang siap ditularkan kepada manusia.). Nama penyakit yang disebabkan
oleh cacing dewasa disebut Teniasis solium, sedangkan yang disebabkan oleh
stadium larva disebut sistiserkosis.
3.4
siklus hidup
Telur
keluar dari proglotid gravid, baik setelah proglotid lepas dari strobila,
ataupun belum. Telur keluar dari tubuh manusia bersama feses. Telur yang jatuh
ke tanah bila termakan manusia atau babi, akan memasuki usus dan menetas di
usus. Kemudian larva akan menembus dinding usus dan dapat memasuki aliran darah
limpa atau aliran darah, serta beredar ke seluruh tubuh.Sebagian besar akan
masuk ke dalam otot atau ke dalam jaringan subkutan. Dalam waktu 60-70 hari
akan berkembang menjadi sistiserkus (cacing gelembung) yang menetap di dalam
otot atau jaringan subkutan pada pundak dan punggung babi.
Bila
manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus, maka sistiserkus ini
akan menetas di dalam usus menjadi larva dan dalam waktu 5-12 minggu tumbuh
menjadi cacing dewasa yang menetap di dalam usus, kemudian melepasakan
proglotid dengan telur. Biasanya hanya ada satu cacing yang menempati usus saat
itu, namun dikerahui bahwa di usus manusia juga dapat ditempati oleh banyak
cacing. Bahkan dilaporkan cacing T. solium ini dapat bertahan dalam tubuh
manusia selama 25 tahun atau lebih. Siklus hidup T. solium dan T. saginata
mempunyai banyak kesamaan, hanya berbeda di host intermediatnya saja, dapat
dilihat pada gambar…
Gambar
1. Daur hidup T. solium
Keterangan:
Orang
menelan larva cacing dengan memakan daging babi yang terkontaminasi dengan
larva dalam sistiserkus, yang belum matang.
Larava
berkembang menjadi bentuk dewasa (hanya terjadi dalam tubuh manusia)…(tapeworm)
Cacing
dewasa tersebut kemudian melekat pada lapisan usus manusia dan melepaskan
telurnya dalam tinja manusia tersebut.
Babi
kontak dengan tinja manusia tersebut dan
menelantelur cacing tersebut.
Telur
cacing tersebut kemudian berpenetrasi menuju usus kecil babi, mamasuki pembuluh
darah portal hati, kemudian memasuki sirkulasi darah umum.
Telur
tersebut pindah ke kerangka atau otot jantung dan berubah menajdi sistiserkus.
Autoinfeksi
dapat terjadi dalam kasus ini bila terkadang manusia yang terinfeksi tersebut
tanpa sengaja menelan telur T. soilum yang terdapat pada tinjanya. Jika hal ini
terjadi maka sistiserkus dapat terbentuk dalam jaringan tubuh, tapi biasanya
otak merupakan temapat yang cocok berdasarkan afinitasnya. Oleh karena itu,
neurosistiserkosis dapat terjadi.
3.5
Gejala Penyakit
Cacing
dewasa yang berada di dalam usus jarang menimbulkan gejala. Gejala yang sering
muncul adalah sakit ulu hati, nafsu makn meningkat, lemah dan berat badan
menurun.
Gejala
yang disebabkan adanya sistiserkus di dalam jaringan tubuh, bermacam-macam
tergantung pada organ yang terinfeksi dan jumlah sistiserkus. Bila jumlahnya
sedikit dan hanya tersebar di jaringan subkutan, biasanya tanpa gejala atau
hanya berupa benjolan-benjolan kecil di bawah kulit (subkutan). Pada manusia,
sistiserkus atau larva T. solium sering menghinggapi jaringan subkutan, mata,
jaringan otak, otot, otot jantung, hati, paru dan rongga perut.
Bila
sistiserkus berada di jaringan otak, sumsum tulang belakang, mata atau otot
jantung, akan mengakibatkan hal yang serius bahkan sampai kematian. Dilaporkan
bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak
dapat menyebabkan kematian.
Patologi
yang berkaitan dengan sistiserkosis tergantung bagian organ yang terinfeksi dan
jumlah sistiserkusnya. Infeksi yang hanya terdiri dari sejumlah kecil
sistiserkus dalam hati atau otot biasanya tidak terlalu berbahaya dan biasanya tanpa gejala, namun dapat juga
mengakibatkan miositis, yang disertai dengan demam dan eosinofilia. Di samping
itu, sejumlah sistiserkus yang sedikit, jika berlokasi dalam beberapa daeran
yang sensitive pada badan, dapat menyebabkan kerusakan yang sulit diperbaiki.
Contohnya, bila sistiserkus sampai di mata, dapat menyebabkan terjadinya
kebutaan; sistiserkus yang sampai ke urat saraf tulang belakang, dapat
menyebabkan terjadinya paralisis (kelumpuhan); atau bila sistiserkus tersebut
berada di otak (neurosistiserkosis) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
saraf yang dahsyat atau serangan epilepsi. Bentuk neurosistiserkosis tersebut
dapat dilihat pada gambar…..Oleh karena itu, sistiserkosis yang berada di
system saraf pusat atau di mata lebih mendapatkan perhatian khusus dibandingkan
ketika sistiserkus tersebut berada di otot.
3.6
bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium dan Diagnosis
Sampel
berupa feses penderita untuk diperiksa keberadaan proglotid dan telur
cacingnya.Telur T. solium sulit dibedakan dengan telur T. saginata. Diagnosis
sistiserkosis kulit dapat dilakukan dengan biopsy pada otot dan secara
radiologi, pada jaringan otak dengan computerized tomographic scan (CT scan).
Beberapa cara serologi yang dapat digunakan adalah uji hemaglutinasi Counter
Immuno electrophoresis, ELISA, EIBT (Western Blot), dan PCR. Telur taenia dan proglotid dapat
juga diidentifikasi menggunakan mikroskop. Namun, teknik ini tidak memungkinkan
dilakukan selama 3 bulan pertama setelah infeksi, karena telah berkembang
menjadi cacing dewasa. Pemeriksaan mikroskopik telur tidak dapat membedakan
telur kedua spesies taenia ini. Spesies tersebut hanya dapat ditentukan dari
pemeriksaan proglotid nya. Teknik imunologi dapat mendeteksi adanya sistiserkus
dan teknik seperti CAT dan MRI dapat juga berguna dalam mendeteksi sistiserkus
dalam berbagai organ.
3.7
Pengobatan
Pengobatan
teniasis solium dapat dilakukan dengan pemberian prazikuantel, sedangkan untuk
sistiserkosis dapat digunakan obat prazikuantel, albendazol atau dapat
dilakukan dengan cara pembedahan.
3.8
pencegahan
Pencegahan
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
¾
Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak daging
sampai matang.
¾
Perbaikan cara pembuangan kotoran
¾
Peningkatan hieginitas pribadi
¾
Menjaga kebersihan makanan dan minuman
¾
Mengobati penderita hingga tuntas
- Taenia saginata
4.1
morfologi
Cacing
dewasa panjangnya antara 5-10 m. hidup di dalam usus. Struktur badan cacing ini
terdsiri dari skoleks, leher dan strobila yang merupakan ruas-ruas proglotid,
sebanyak 1000-2000 buah.
Skoleks
hanya berukuran 1-2 mm, mempunyai emapt batil isap dengan otot-otot yang kuat,
tanpa kait-kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan didalamnya
tidak terliohat struktur tertentu. Strobila terdiri dari rangkaian proglotid
yang belum dewasa, dewasa dan matang yang mengandung telur, disebut gravid.
Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang
jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti
folikel testis ynag berjumlah 300-400 buah, tersebar di bidang dorsal. Vasa
eferensnya bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital atrium), yang
ebrakhir di lubang kelamin. Lubang kelamin letaknya berselang seling pada sisi
kanan dan kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin, dekat va deferens,
terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootip. Ovarium terdiri dari dua
lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir sama. Letak ovarium di sepertiga bagian
posterior dari proglotid. Vitelaria letaknya di belakang ovarium dan merupakan
kumpulan folikel yang eliptik. Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan
menjulur ke bagian anterior proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan telur,
maka cabag-cabangnya akan tumbuh, yang berjumalah 15-30 buah pada satu sisinya
dan tidak memiliki lubang uterus. Proglotid gravid letaknya diterminal dans
erring lepas daris trobila. Proglotid gravid ini dapat bergerak aktif, keluar
dengan tinja atau keluar sendiri dari lubang dubur secara spontan. Setiap harinya kira-kira 9
buah proglotid dilepas. Proglotid ini bentuknya
lebih panjang dan lebar. Telur dibungkus embriofor, berisi suatu embrio
heksakan yang dinamakan onkosfer. Telur yang baru keluar dari uterus masih
diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar telur. Sebuah proglotid gravid
berisi kira-kira 100.000 buah telur. Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya
dan menjadi koyak, cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir
keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama bila proglotidnya
berkontraksi waktu bergerak.
4.2
Host
Host
definitive nya adalah manusia, sedangkan host intermediatnya adalah hewan
ternak
4.3
siklus hidup
Telur
cacing yang keluar bersama feses penderita bila terjatuh di tanah dan termakan
oleh sapi atau kerbau, maka akan menetas menjadi larva di dalam usus hewan
ternak tersebut.
Larva
ini akan menembus dinding usus, kemudian masuk ke aliran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh sapi. Bila sampai ke jaringan otot, akan menetap dan berkembang
menjadi sistiserkus. Manusia yang bersifat host definitive akan tertulari T.
saginata bila memakan daging sapi yang mengandung sistiserkus, yang dimasak
kurang matang. Di dalam usus, sistiserkus akan menetas dan berkembang menjadi
cacing dewasa. Dalam waktu 12 minggu, cacing dewasa dapat menghasilkan telur
kembali. Bagian ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot
maseter, paha belakang dan punggung.otot dib again lain juga dihinggapi.
Setelah satu tahun, cacaing ini biasanya mengalami degenerasi, walaupun ada
juga yang dapat hidup samapi tiga tahun. Biasanya di rongga usus host terdapat
sesekor cacing.
Keterangan
gambar:
Tinja
manusia yang mengandung telur cacing. Telur cacing kemudian tertelan oleh hewan
ternak. Telur tersebut menetas untuk melepaskan larva dengan hexacynth
(six-hooked)di usus kecil. Larva tersebut kemudian pindah ke usus kecil dan
memasuki system peredaran darah. Larva terbawa sampai ke beberapa jaringan seperti
jantung dan otot-otot lain untuk membentuk sistiserkus. Manusia kemudian
terinfeksi dengan cara menelan sistiserkus yang terdapat dalam daging hewan
ternak tersebut yang tidak dimasak dengan baik. Begitu tertelan, skolek parasit
tersebut melekat pada dinding usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang matang
yang dapat menetaskan telurnya melalui tinja manusia yang terinfeksi tersebut.
4.4
Gejala Penyakit
Biasanya
tanpa gejala. Pada infeksi yang berat, dapat timbul gejala berupa sakit ulu
hati, nafsu makan meningkat, lemas dan berat badan menurun. Kadang-kadang
disertai dengan vertigo, nausea, muntah, sakit kepala dan diare.gejala tersebut
biasanya timbul bila ditemukan cacing yang bergerak-gerak dalam tinja, atau
cacing keluar dari lubang dubur, walaupun yang sebenarnya keluar adalah
proglotid cacing. Gejala yang lebih berat dapatterjadi bila proglotid menyasar
masuk ke apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh
strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat ditemukan
di darah tepi.
4.5
Bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium
Sampel
yang diperiksa untuk mendeteksi infeksi oleh T. saginata adalah feses
penderita. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing dan
proglotidnya.proglotid tersebut dapat dalam keadaan masih aktif bergerak di
dalam tinja atau keluar spontan. Telur cacing dapat ditemukan dalam tinja atau
usap anus.proglotid dapat diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan
laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan cabng-cabangnya terlihat jelas,
jumlh cabang-cabang dapat dihitung.
4.6
Pengobatan
Obat
yang digunakan untuk mengobati teniasis saginata dapat berupa obat herbal,
seperti biji labu merah dan biji pinang atau obat sintetis seperti kuinakrin,
amodiakuin, niklosamid dan prazikuantel.
4.7
Pencegahan
Pencegahan
dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
¾
Memasak daging samapi matang
¾
Hanya hewan yang sehat saja yang boleh dipotong
dan dagingnya dapat diperjualbelikan.
¾
Atau dengan membekukan daging pada suhu -5˚C
selama 4 hari, -15˚C selama 3 hari, atau -24˚C selama 1 hari, dapat membunuh
larva dengan baik.
0 komentar:
Posting Komentar