BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ada suatu kecenderungan
alamiah yang menganggap peradangan sebagai sesuatu yang tidak diinginkan,
karena peradangan dapat menyebabkan keadaan yang menggelisahkan. Tetapi
peradangan sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan dan pertahanan, yang
hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, penghancuran
jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan
pemulihan.
Sifat menguntungkan dari
reaksi peradangan secara drmatis diperlihatkan dengan apa yang terjadi jika
penderita tidak dapat menimbulkan reaksi peradangan yang dibutuhkan. Misalnya,
jika diperlukan memberikan dosis tinggi
obat-obatan yang mempunyai efek samping yang menekan reaksi peradangan.
Dalam hal ini, , ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat,
penyabaran yang cepat atau infeksi yang mematikan, yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya.
Reaksi peradangan itu
sebenarnya adalah peristiwa yang terkoodinasi dengan baik yang dinamis dan
kontinyu. Untuk menimbulkan reaksi peradangan, maka jaringan harus hidup dan
khususnya harus memiliki mikrosirkulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis
luas, maka reaksi jaringan tidak ditemukan ditengah jaringan, tetapi pada
tepinya, yaitu antara jaringan mati dan jaringan hidupdengan sirkulasi yang
utuh. Juga jika cidera yang langsung mematikan hospes, maka tidak ada petunjuk
adanya reaksi peradangan, karena untuk timbulnya reaksi peradangan diperlukan
waktu.
Sebab-sebab peradangan
banyak sekali dan beraneka ragam, dan penting sekali untuk diketahui bahwa
peradangan dan infeksi itu tidak bersinonim. Dengan demikian, maka infeksi
(adanya mikrooganisme hidup dalam jaringan) hanya merupakan salah satu penyebab
dari peradangan. Peradangan dapat terjadi denagan mudah steril sempurna,
seperti waktu sebagian jaringan mati karena hilangnya suplai darah. Karena
banyaknya keadaan yang mengakibatkan peradangan, maka pemahaman proses ini
merupakan dasar bagi ilmu biologi dan kesehatan. Tanpa memahami proses ini,
orang tidak dapat memahami prinsip-prinsip penyakit manular, pembedahan,
penyembuhan luka, dan respon terhadap berbagai trauma atau prinsip-prinsip
bagaimana tubuh menanggulangi bencana kematian jaringan, sperti stroke,
serangan jantung dan sebagainya.
Walaupun ada banyak sekali
penyebab peradangan dan ada berbagai keadaan dimana dapat timbulnya peradangan,
kejadiannya secara garis besar cenderung sama, hanya saja pada pada berbagai
jenis peradangan terdapat perbedaan secara kuanntitatif. Oleh karena itu,
reaksi peradangan dapat dipelajari sebagai gejala umum dan memperlakukan
perbedaan kuantitatif secara sekunder.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas dapat
dibuat beberapa rumusan masalah, antara lain:
1. Apa pengertian
peradangan?
2. Bagaimana gambaran
makroskopis peradangan akut?
3. Apa saja aspek
cairan pada peradangan?
4. Apa saja aspek
seluler dari peradangan?
5. Apa saja jenis
dan fungsi leukosit?
6. Bagaimana bentuk
peradangan?
7. Apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi peradangan dan penyembuhan?
8. Apa saja aspek sistemik
dari proses peradangan?
C.
TUJUAN
Adapun tujuan yang dapat
disampaikan oleh penulis terkait dengan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui pengertian
peradangan.
2. Mengetahui gambaran
makroskopis peradangan akut.
3. Mengetahui aspek
cairan pada peradangan.
4. Mengetahui aspek
seluler dari peradangan.
5. Mengetahui jenis
dan fungsi leukosit.
6. Mengetahui bentuk
peradangan.
7. Mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi peradangan dan penyembuhan.
8. Mengetahui aspek
sistemik dari proses peradangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PERADANGAN
Bila sel-sel atau jaringan
tubuh mengalami cidera atau mati, selama hospes tetap hidup, ada respon yang
mencolok pada jaringan hidup disekitarnya, respon tersebut itulah yang
dinamakan dengan peradangan.
Secara khusus, peradangan adalah
reaksi vaskuler yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut
pada sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial pada daerah
cidera atau nekrosis.
B.
GAMBARAN
MIKROSKOPIS PERADANGAN AKUT
Peradangan akut adalah
respon langsung dari tubuh terhadap cideraatau kematian sel. Gambaran
mikroskopis peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau dan masih dikenal
sebagai tanda-tanda pokok peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), panas
(kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Tanda pokok yang kelima
ditambahkan pada abad sekarang ini, yaitu perubahan fungsi (function laesa).
1.
Rubor
(kemerahan)
Rubor biasanya
merupakan hal pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan.
Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai daerah
daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih bannyak darah mengalir kedalam
mikrosirkulasi local. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja
yang meregang dengan cepat akan terisi oleh darah. Keadaan ini yang dinamakan
hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut.
Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh, baik
secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti
histamine.
2.
Kalor (panas)
Kalor terjadi
bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas
merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang
dalam keadaan normal lebih dingin dari 370 C, yaitu suhu dalam
tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya,
sebab darah (pada suhu 370 C)
yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih lebih banyak dari
pada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat
pada daerah-daerah yang terkena radang jauh didalam tubuh, karena
jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 370 C dan
hyperemia tidak menimbulkan perubahan.
3.
Dolor (nyeri)
Dolor dari
reaksi peradangan dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya, bahan pH lokal
atau kongesti lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya
juga dapat merangsang sel-sel saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang
meradang juga dapat mengakibatkan penigkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan
lagi juga dapat menimbulkan nyeri.
4.
Tumor (pembengkakan)
Segi paling
mencolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal (tumor).
Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi
darah kejaringan-jaringan interstisial. Campuran dari cairan dan sel yang
tertimbun paada daerah peradangan disebut eksudat, pada keadaan dini reaksi
peradangan , sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada
lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih
atau leukosit meninggalkan aliaran darah dan tertimbun sebagai bagian dari
eksudat.
5.
Function laesa
(perubahan fungsi)
Adalah reaksi
peradangan yang telah dikenal, sepintas lalu mudah dimengerti, mengapa bagian
yang bengkak, nyeri disertai denagn sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi
yang abnormal, berfungsi juga secara abnormal. Namun sebetulnya kita tidak
mengetahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu
terganggu.
C.
ASPEK CAIRAN
PADA PERADANGAN
Biasanya dinding saluran
darah yang terkecil (kapiler dan venula) memungkinkan molekul-molekul kecil
lewat, tetapi akan menahan molekul-molekul yang besar seperti protein plasma
untuk tetap didalam lumen pembuluh. Sifat pembuluh yang semipermeabel ini menyebabkan
gaya osmotik yang cenderung untuk menahan cairan dalam pembuluh. Hal ini juga
diimbangi oleh dorongan keluar dari tekanan hidrostatik didalam pembuluh.
Pergeseran cairan dalam reaksi peradangan sangat cepat.
Eksudat dari peradangan luka
bakar akibat cidera termal mengandung protein plasma yang cukup berarti. Jadi,
peristiwa penting dari peradangan akut adalah perubahan permeabilitas
pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang menyebabkan kebocoran protein dan
diikuti pergeseran keseimbangan osmotik dan air keluar bersama protein,
sehingga menimbulkan pembengkakan jaringan. Dilatasi arteriol yang menimbulkan
hiperemia lokal dan kemerahan juga mengakibatkan kenaikan tekanan intravaskuler
lokal, karena pembuluh darah penuh.
Dalam sistem limfatik,
biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe
jaringan dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan bergabung
kembali kedarah vena. Daerah yang terkena radang biasanya terjadi kenaikan yang
mencolok pada aliran limfe daerah tersebut. Selama peradangan akut, tidak hanya
aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe
juga bertambah dengan cara yang sama seperti pada sistem vaskuler darah. Tetapi
sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe
menguntungkan, karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang
dengan mengosongkan sebagian dari eksudat.
Bila pembuluh limfe terkena
radang, disebut dengan limfangitis dan jika kelenjar limfe yang terkena radang,
maka disebut dengan limfadenitis. Limfadenitis regional sering menyertai
peradangan, salah satu contoh yang terkenal adalah pembesaran kelenjar limfe
servikal, yang nyeri terlihat pada tonsillitis.
D.
ASPEK SELULER
PADA PERADANGAN
1.
Marginal dan
Emigrasi
Pada awal
peradangan akut, waktu arteriol berdilatasi, aliran darah radang bertambah,
namun sifat aliran darah segera berubah. Hal ini disebabkan karena cairan bocor
keluar dari mikrosirkulasi yang permeabilitasnya bertambah. Sejumlah besar dari
eritrosit, trombosit dan leukosit ditinggalkan, dan viskositas naik, sirkulasi
didaerah yang terkena radang menjadi lambat. Hal menyebabkan leukosit akan
mengalami marginasi, yaitu bergerak kebagian arus perifer sepanjang aliran
pembulh darah, dan mulai melekat pada endotel. Akibatnya pembuluh darah tampak
seperti jalan berbatu, peristiwa ini disebut dengan emigrasi.
2.
Kemotaksis
Pergerakan
leukosit pada interstisial dari jaringan yang meradang, waktu mereka sudah
beremigrasi, merupakan gerakan yang bertujuan. Hal ini disebabkan adanya sinyal
kimia. Fenomena ini disebut dengan kemotaksis.
3.
Mediator
peradangan
Banyak substansi
yang dikeluarkan secara endogen, yang dikenal dengan substansi dari peradangan.
Mediator dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok:
Ø Amina vasoaktif
Ø Substansi yang
dihasilkan oleh sistem enzim plasma
Ø Metabolit asam
arakhidona
Ø Berbagai macam
produk sel
4.
Histamine
Amina vasoaktif
yang terpenting adalah histamin, yang mampu menghasilkan vasodilatasi dan
penigkatan permeabilitas vaskuler. Sebagian besar histamin disimpan dalam sel
mast yang tersebar luas dalam tubuh.
5.
Factok-faktor
plasma
Plasma darah
adalah sumber yang kaya akan sejumlah mediator penting. Agen utama yang
mengatur sistem ini adalah faktor Hageman (faktor XII), yang berada dalam
plasma, dalam bentuk tidak aktif dan dapat diaktifkan oleh berbagai cidera.
6.
Metabolit asam
arakhidonat
Berasal dari
banyak fosfolipid membrane sel, ketika fosfolipid diaktifkan oleh cidera atau
mediator lain. Asam arakhidonat dapat dimetabolisasikan dalam dua jalur yang
berbeda, yaitu jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase, menghasilkan
sejumlah prostaglandin, trombokson dan leukotrin.
E.
JENIS DAN FUNGSI
LEUKOSIT
1.
Granulosit
Granulosit terdiri dari netrofil, eosinofil dan basofil, masing-masing
memiliki granula dalam sitoplasma. Sel-sel pertama yang timbul dalam jumlah
besar didalam eksudat adalah netrofil. Netrofil mampu bergerak aktif seperti
amoeba dan mampu menelan berbagai zat (fagositosis).
Eosinofil memberikan respon terhadap
rangsangan kemotaktik khas tertentu pada reksi alergi dan mengandung
zat-zat yang toksik terhadap parasi-parasit tertentu dan zat-zat yang
memperantarai peradangan.
Basofil berasal dari sumsum tulang seperti granulosit lainnya. Basofil
darah dan sel mast jaringan dirangsang untuk melepaskan kandungan granulanya
kedalam lingkungan sekitarnya pada berbagai keadaan cidera, baik rekasi
imunologis maupun reaksi nonspesifik.
2.
Monosit
Merupakan bentuk monosit yang berbeda dari granulosit, karena susunan
morfologi intinya dan sift sitoplasmanya yang relatif agranular. Sel yang sama,
yang terdapat dalam pembuluh darah disebut juga dengan monosit, dan jika
terdapat dalam eksudat, disebut dengan makrofag.
Makrofag mempunyai fungsi yang sama denganfugsi netrofil
polimorfonuklear, dimana makrofag adalah sel yang bergerak aktif yang memberi
respon terhadap rangsang kemotaksis,
fagosit aktif dan mampu mematikan serta mencerna berbagai agen.
3.
Limfosit
Umumnya terdapat pada eksudat dalam jumlah yang sangat kecil, dalam
waktu yang cukup lama, yaitu sampai reaksi peradangan menjadi kronik.
Leukosit yang telah dimobilisasi tidak hanya menangkap mikroba yang
menyerbu, tetapi juga menghancurkan sisa jaringan hingga proses perbaikan dapat
dimulai.
F.
BENTUK
PERADANGAN
1.
Eksudat
nonseluler
Ø Eksudat serosa
Jenis eksudat nonseluler yang paling sederhana adalah
eksudat serosa, yang pada dasarnya terdiri dari protein yang bocor dari
pembuluh-pembuluh darah saat radang. Contoh eksudat serosa adalah cairan luka
melepuh. Pengumpulan yang disebabkan oleh tekanan hidrostatik, bukan disebabkan
oleh peradangan, disebut dengan transudat.
Ø Eksudat
fibrinosa
Terbentuk jika protein yang dikeluarkan dari pembuluh
dan terkumpul pada daerah peradangan yang mengandung banyak fibrinogen. Eksudat
fibrinosa sering dijumpai diatas permukaan serosa yang meradang.
Ø Eksudat misinosa
Jenis eksudat ini hanya dapat terbentuk diatas
membrane mukosa, dimana terdapat sel-sel yang dapat mensekresi musin. Eksudat
ini merupakan sekresi sel, bukan dari bahan yang keluar dari pembuluh darah.
Contoh eksudat ini adalah pilek yang disertai berbagai infeksi pernapasan
bagian atas.
2.
Eksudat seluler
Ø Eksudat
netrofilik
Disebut juga dengan purulen yang terbentuk akibat infeksi
bakteri. Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi netrofil yang luar
biasa tingginya didalam jaringan, banyak dari sel-sel ini mati dan membebaskan
enzim-enzim hidrolisis yang kuat kesekitarnya.
Ø Eksudat campuran
Campuran eksudat seluler dan nonseluler, dinamakan
sesuai dengan campurannya. Misalnya, eksudat fibrinopurulen terdiri dari fibrin
dan netrofil polimorfonuklear.
3.
Peradangan
granulamatosa
Jenis radang ini
ditandai dengan pengumpulan makrofag dalam jumlah besar dan pengelompokannya
menjadi gumpalan nodular yang disebut granuloma.
G.
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PERADANGAN DAN PENYEMBUHAN
Seluruh proses peradangan
bergantung pada sirkulasi yang utuh kedaerah yang terkena. Jadi, jika ada
defisiensi suplai darah kedaerah yang terkena, maka proses peradangannya sangat
lambat, infeksi yang menetap dan penyembuhan yang jelek.
Banyak faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka atau daerah cidera atau daerah peradangan
lainnya, salah satunya adalah bergantung pada poliferasi sel dan aktivitas
sintetik, khususnya sensitif terhadap defisiensi suplai darah lokal dan juga
peka terhadap keadaan gizi penderita.
Penyembuhan juga dihambat
oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik dalam luka, oleh adanya infeksi
luka dan immobilisasi yang tidak sempurna.
Komplikasi pada penyembuhan
luka kadang-kadang terjadi saat proses penyembuhan luka. Jaringan parut
mempunyai sifat alami untuk memendek dan menjadi lebih padat, dan kompak
setelah beberapa lama. Akibatnya adalah kontraktur yang dapat membuat dareah
menjadi cacat dan pembatasan gerak pada persendian.
Komplikasi penyembuhan yang
kadang-kadang dijumpai adalah amputasi atau neuroma traumatik, yang secara
sederhana merupakan poliferasi regeneratif dari serabut-serabut saraf kedalam
daerah penyembuhan dimana mereka terjerat pada jaringan parut yang padat.
H.
ASPEK SISTEMIK
DARI PERADANGAN
Demam adalah fenomena umum
yang sering terjadi sejajar dengan proses peradangan lokal, yang manular maupun
yang tidak manular. Penyebab demam adalah dilepaskannya pirogen endogendari
netrofil dan makrofag. Zat-zat ini mempengaruhi pusat pengaturan suhu
dihipotalamus. Hal lain yang mencolok yang mengikuti proses peradangan lokal
adalah perubahan-perubahan hematologis yang biasa ditemukan.
Rangsangan yang berasal dari
pusat peradangan yang mempengaruhi proses pendewasaan (maturasi) dan
pengeluaran leukosit dari sumsum tulang yang mengakibatkan kenaikan jumlah
suatu leukosit, kenaikan ini disebut dengan leukositas. Pada cidera yang hebat,
gejala berupa malaise, anoreksia dan ketidakmampuan melakukan sesuatu yang
beratnya berbeda-beda, bahkan sampai tidak berdaya melakukan apapun.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa
radang bukanlah suatu penyakit, melainkan manifestasi dari suatu penyakit. Dimana radang merupakan respon fisiologis
lokal terhadap cidera jaringan. Radang dapat pula mempunyai pengaruh yang
menguntungkan, selain berfungsi sebagai penghancuran mikroorganisme yang masuk
dan pembuatan dinding pada rongga akses, radang juga dapat mencegah penyebaran
infeksi. Tetapi ada juga pengaruh yang merugikan dari radang, karena secara
seimbang radang juga memproduksi penyakit. Misalnya, abses otak dan
mengakibatkan terjadinya distori jaringan yang permanen dan menyebabkan
gangguan fungsi.
B.
Saran
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dengan membaca dan
mempelajari isi makalah ini, diharapkan pengetahuan pembaca tentang radang dapat
bertambah, serta mengerti tentang akibat dan pengaruh yang disebabkan oleh
radang itu sendiri.
Penulis
menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat
diharapkan demi perbaikan penulisan yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar